Cernak saya yang pertama kali dimuat itu di Solopos. Waktu itu hari Minggu, buka Facebook. Buka kiriman di grup Sastra Minggu. Daaan,,, Ada yang menuliskan nama saya di sana. Ternyata cernak yang saya kirim tanggal 11 Juni 2016 dimuat di Solopos edisi 19 Juni 2016. Termasuk cepet. Nggak kaya di Majalah Bobo yang antreannya panjang. Kalau di Solopos setahu saya biasanya paling lama itu 1 bulan.
Cernak ini terinspirasi dari diri sendiri yang mempunyai volume suara yang kecil, hehe... Saya gabungkan dengan lomba azan karena teringat dengan lomba yang kadang diadakan pas bulan Ramadhan. Ssstt,,, Beberapa nama tokoh di cernak ini diambil dari nama anak yang dulu ikut les di rumah. Terkadang, apa yang ada di sekitar bisa kita jadikan sebuah cerita.
Oke, yuk langsung saja yang mau baca!
Lomba Azan
Oleh Lish Adnan
Cernak Lomba Azan oleh Lish Adnan dimuat di Solopos edisi 19 Juni 2016 |
Seminggu
lagi ada lomba adzan untuk anak-anak di masjid tempat tinggal Zaki. Hampir
semua anak laki-laki di komplek tersebut mendaftarkan diri.
Zaki
menjadi salah satu diantara mereka yang ingin mendaftarkan diri. Namun ia ragu
setelah mendengar kata-kata dari Ozan.
“Hei,
Zaki, kamu tidak perlu ikut lomba adzan. Bisa-bisa nanti jurinya malah bingung tidak
bisa menilai kamu karena gak dengar suara adzannya. Ha....” kata Ozan diikuti
tawa teman-temannya yang lain.
Zaki
hanya tertunduk diam.
“Jangan
begitu, Zan. Setiap anak laki-laki disini, kan boleh ikut,” bela Adi.
“Tidak
apa-apa, Di. Apa yang dikatakan Ozan memang benar,” ujar Zaki lemah.
Zaki
memang memiliki volume suara yang kecil. Seringkali Zaki harus mengulang apa
yang dikatakannya pada lawan bicaranya. Tak jarang beberapa dari lawan
bicaranya marah dengan volume suara Zaki yang kecil bahkan kadang tak
terdengar.
***
Zaki
terduduk lemas di ruang keluarga. Dia hanya bisa mendengarkan Fajar, kakaknya
yang sedang berlatih untuk lomba adzan.
Fajar
yang melihat adiknya berhenti berlatih dan duduk di samping Zaki.
“Kenapa
dari tadi diam saja, sih?” tanya Fajar.
“Tidak
apa-apa, kok,” jawab Zaki lirih.
“Kenapa?”
tanya Fajar lagi sambil mendekatkan telinganya ke arah Zaki.
“Tidak
apa-apa, Kak. Zaki baik-baik saja, kok,” jawab Zaki agak kencang.
“Tidak
apa-apa, kok, mukanya ditekuk gitu,” balas Fajar. “Eh iya, kamu tidak latihan
buat lomba adzan nanti? Kan, waktuya tinggal tiga hari lagi,” lanjut Fajar.
“Aku
tidak ikut.” Zaki menjawab dengan lirih.
“Kenapa
tidak ikut? Bukannya kamu yang waktu itu lebih semangat berlatih setelah mendengar
ada lomba adzan di komplek kita?!”
“Kata
Ozan suaraku terlalu kecil. Bisa-bisa juri tidak bisa dengar.”
“Omongan
dia tidak usah kamu dengarkan. Kalau kamu ingin ikut, ya tinggal ikut aja,”
ujar Fajar.
Zaki
tertunduk menghela nafas.
***
Hari
perlombaan tiba. Seusai sholat tarawih dan tadarus, orang-orang berkumpul di
dekat panggung di samping masjid. Semua anak yang ikut lomba maju satu persatu mengumandangkan
adzan. Orang tua yang mendengar suara adzan anaknya terharu.
Fajar
tampil di urutan kedua. Disana juga ada Zaki, namun sayang dia hanya sebagai
penonton. Kata-kata Fajar tak berhasil meyakinkan Zaki untuk ikut lomba.
Zaki
menyaksikan lomba adzan itu dengan perasaan campur aduk. Dia senang mendengar
suara adzan dari teman-temannya. Apalagi ketika mendengar suara adzan kakaknya.
Namun disisi lain, dia merasa sedih karena tak ikut lomba itu.
***
“Nananana...”
Fajar berdendang sembari membersihkan tropi miliknya. Dia menang juara dua
lomba adzan.
“Zaki,
terlihat mengkilat kan?” tanya Fajar.
“Hm,
iya.” Zaki mengangguk lemah.
“Lemes
banget sih jawabnya,” kata Fajar. “Kamu pengen,
ya?” tanya Fajar setengah meledek.
“Tidak,
kok.”
“Sudah,
deh. Mengaku saja!”
“Kalau
aku bilang tidak, ya, tidak!” teriak Zaki.
Fajar
kaget. Zaki terlihat kesal dengan kata-kata Fajar.
Ibu
datang dari arah dapur menuju meja makan.
“Eh,
sudah-sudah. Ayo, bantu Ibu menyiapkan makanan berbuka!” Ibu menengahi adu
mulut anaknya.
Zaki
dan Fajar membawa makanan dari dapur menuju meja makan. Sementara itu Ayah baru
selesai mandi dan duduk di meja makan.
“Nah,
gitu dong, adik kakak harus bisa kerjasama.” Kata Ayah, tak tahu apa yang baru
saja terjadi.
Zaki
dan Fajar tak terlalu memperdulikan kata-kata ayahnya.
Setelah
semuanya tersaji di atas meja, mereka duduk manis menunggu adzan magrib.
“Allahuakbar Allahuakbar...” suara adzan
terdengar.
“Alhamdulillah,” ucap Ibu.
“Eh,
tunggu, itu kok kaya suaranya Zaki?” tanya Fajar heran.
“Apanya
yang kaya suaraku?” Zaki balik bertanya.
“Itu
lho, suara adzannya. Iya kan, Yah?” Fajar memastikan pada ayahnya. Ayah yang
sedang menyeruput teh hangat berhenti. Ayah mencoba mendengarkan dengan
seksama.
“Itu
suara adzan di radio, Bu?” Ayah bertanya pada Ibu.
“Iya,”
jawab Ibu singkat.
“Sepertinya
benar itu suara Zaki,” kata Ayah.
“Tidak
salah lagi itu suara Zaki. Ayah yakin sekali. Karena Ayah sering mendengar Zaki
berlatih adzan di kamarnya,” lanjut Ayah mantap.
“Ah,
mana mungkin suara adzan Zaki bisa sampai di radio?!” Zaki tidak yakin.
“Itu
mungkin saja,” kata Ibu.
Semua
mata memandang ke arah Ibu. Kenapa Ibu
mantap sekali mengatakan itu? pikir Fajar.
“Ini,”
Ibu memberikan sebuah bingkisan pada Zaki.
“Apa
itu?” tanya Zaki, Ayah, dan Fajar bersamaan.
***
“Zaki,
selamat, ya!” ucap Adi.
“Aku
kemarin dengar lho di radio. Suara adzan kamu bagus juga,” puji Adi. Zaki
tersipu malu.
Teman-teman
dan tetangga Zaki kagum. Mereka tak mengira di lingkungan tempat tinggalnya ada
muadzin cilik dengan suara yang indah.
Ozan
dan teman-teman yang sebelumnya sempat mengejek Zaki hanya terdiam. Mereka malu
pada Zaki.
Ini
semua berkat Ibu. Ternyata di saat Zaki sedang berlatih adzan Ibu diam-diam
merekamnya. Ibu tahu ada lomba adzan untuk anak di radio. Ibu mengirimkan
rekaman adzan milik Zaki. Tak disangka suara adzan milik Zaki lolos. Alhasil,
rekaman adzan Zaki diperdengarkan saat bedug maghrib selama bulan Ramdahan.
Zaki
memang tak mendapatkan tropi seperti Fajar. Tapi, dia mendapat sarung dan baju
koko. Ditambah lagi Ozan dan teman-temannya tak lagi berani mengejek Zaki soal
volume suaranya yang kecil.
***
Semoga apa yang saya bagi bisa bermanfaat. Aamiin..
Perlu diperhatikan, naskah cernak ini adalah naskah sebelum direvisi editor. Jadi ya, ada beberapa kata yang tidak sesuai.
Wah keren kak,
ReplyDeleteMakasih... Masih terus berusaha. 😊
DeleteMantap, kak. Pesan moralnya bagus. Terus semangat, ya, kak, nulisnya...
ReplyDeleteMasyaAllah, makasih, Kak. Bismillah semangat, InsyaAllah. :)
Delete