Tuesday, April 24, 2018

Cernak Solopos: Lomba Azan-Lish Adnan

Cernak saya yang pertama kali dimuat itu di Solopos. Waktu itu hari Minggu, buka Facebook. Buka kiriman di grup Sastra Minggu. Daaan,,, Ada yang menuliskan nama saya di sana. Ternyata cernak yang saya kirim tanggal 11 Juni 2016 dimuat di Solopos edisi 19 Juni 2016. Termasuk cepet. Nggak kaya di Majalah Bobo yang antreannya panjang. Kalau di Solopos setahu saya biasanya paling lama itu 1 bulan. 

Cernak ini terinspirasi dari diri sendiri yang mempunyai volume suara yang kecil, hehe... Saya gabungkan dengan lomba azan karena teringat dengan lomba yang kadang diadakan pas bulan Ramadhan. Ssstt,,, Beberapa nama tokoh di cernak ini diambil dari nama anak yang dulu ikut les di rumah. Terkadang, apa yang ada di sekitar bisa kita jadikan sebuah cerita. 

Oke, yuk langsung saja yang mau baca!

Lomba Azan 
Oleh Lish Adnan

Cernak Lomba Azan oleh Lish Adnan dimuat di Solopos edisi 19 Juni 2016
 
Seminggu lagi ada lomba adzan untuk anak-anak di masjid tempat tinggal Zaki. Hampir semua anak laki-laki di komplek tersebut mendaftarkan diri.

Zaki menjadi salah satu diantara mereka yang ingin mendaftarkan diri. Namun ia ragu setelah mendengar kata-kata dari Ozan.

“Hei, Zaki, kamu tidak perlu ikut lomba adzan. Bisa-bisa nanti jurinya malah bingung tidak bisa menilai kamu karena gak dengar suara adzannya. Ha....” kata Ozan diikuti tawa teman-temannya yang lain.
Zaki hanya tertunduk diam.
“Jangan begitu, Zan. Setiap anak laki-laki disini, kan boleh ikut,” bela Adi.
“Tidak apa-apa, Di. Apa yang dikatakan Ozan memang benar,” ujar Zaki lemah.
Zaki memang memiliki volume suara yang kecil. Seringkali Zaki harus mengulang apa yang dikatakannya pada lawan bicaranya. Tak jarang beberapa dari lawan bicaranya marah dengan volume suara Zaki yang kecil bahkan kadang tak terdengar.
***

Zaki terduduk lemas di ruang keluarga. Dia hanya bisa mendengarkan Fajar, kakaknya yang sedang berlatih untuk lomba adzan.
Fajar yang melihat adiknya berhenti berlatih dan duduk di samping Zaki.
“Kenapa dari tadi diam saja, sih?” tanya Fajar.
“Tidak apa-apa, kok,” jawab Zaki lirih.
“Kenapa?” tanya Fajar lagi sambil mendekatkan telinganya ke arah Zaki.
“Tidak apa-apa, Kak. Zaki baik-baik saja, kok,” jawab Zaki agak kencang.
“Tidak apa-apa, kok, mukanya ditekuk gitu,” balas Fajar. “Eh iya, kamu tidak latihan buat lomba adzan nanti? Kan, waktuya tinggal tiga hari lagi,” lanjut Fajar.
“Aku tidak ikut.” Zaki menjawab dengan lirih.
“Kenapa tidak ikut? Bukannya kamu yang waktu itu lebih semangat berlatih setelah mendengar ada lomba adzan di komplek kita?!”
“Kata Ozan suaraku terlalu kecil. Bisa-bisa juri tidak bisa dengar.”
“Omongan dia tidak usah kamu dengarkan. Kalau kamu ingin ikut, ya tinggal ikut aja,” ujar Fajar.
Zaki tertunduk menghela nafas.
***

Hari perlombaan tiba. Seusai sholat tarawih dan tadarus, orang-orang berkumpul di dekat panggung di samping masjid. Semua anak yang ikut lomba maju satu persatu mengumandangkan adzan. Orang tua yang mendengar suara adzan anaknya terharu.
Fajar tampil di urutan kedua. Disana juga ada Zaki, namun sayang dia hanya sebagai penonton. Kata-kata Fajar tak berhasil meyakinkan Zaki untuk ikut lomba.
Zaki menyaksikan lomba adzan itu dengan perasaan campur aduk. Dia senang mendengar suara adzan dari teman-temannya. Apalagi ketika mendengar suara adzan kakaknya. Namun disisi lain, dia merasa sedih karena tak ikut lomba itu.
***

“Nananana...” Fajar berdendang sembari membersihkan tropi miliknya. Dia menang juara dua lomba adzan.
“Zaki, terlihat mengkilat kan?” tanya Fajar.
“Hm, iya.” Zaki mengangguk lemah.
“Lemes banget sih jawabnya,” kata Fajar. “Kamu pengen, ya?” tanya Fajar setengah meledek.
“Tidak, kok.”
“Sudah, deh. Mengaku saja!”
“Kalau aku bilang tidak, ya, tidak!” teriak Zaki.
Fajar kaget. Zaki terlihat kesal dengan kata-kata Fajar.
Ibu datang dari arah dapur menuju meja makan.
“Eh, sudah-sudah. Ayo, bantu Ibu menyiapkan makanan berbuka!” Ibu menengahi adu mulut anaknya.
Zaki dan Fajar membawa makanan dari dapur menuju meja makan. Sementara itu Ayah baru selesai mandi dan duduk di meja makan.
“Nah, gitu dong, adik kakak harus bisa kerjasama.” Kata Ayah, tak tahu apa yang baru saja terjadi.
Zaki dan Fajar tak terlalu memperdulikan kata-kata ayahnya.
Setelah semuanya tersaji di atas meja, mereka duduk manis menunggu adzan magrib.
Allahuakbar Allahuakbar...” suara adzan terdengar.
Alhamdulillah,” ucap Ibu.
“Eh, tunggu, itu kok kaya suaranya Zaki?” tanya Fajar heran.
“Apanya yang kaya suaraku?” Zaki balik bertanya.
“Itu lho, suara adzannya. Iya kan, Yah?” Fajar memastikan pada ayahnya. Ayah yang sedang menyeruput teh hangat berhenti. Ayah mencoba mendengarkan dengan seksama.
“Itu suara adzan di radio, Bu?” Ayah bertanya pada Ibu.
“Iya,” jawab Ibu singkat.
“Sepertinya benar itu suara Zaki,” kata Ayah.
“Tidak salah lagi itu suara Zaki. Ayah yakin sekali. Karena Ayah sering mendengar Zaki berlatih adzan di kamarnya,” lanjut Ayah mantap.
“Ah, mana mungkin suara adzan Zaki bisa sampai di radio?!” Zaki tidak yakin.
“Itu mungkin saja,” kata Ibu.
Semua mata memandang ke arah Ibu. Kenapa Ibu mantap sekali mengatakan itu? pikir Fajar.
“Ini,” Ibu memberikan sebuah bingkisan pada Zaki.
“Apa itu?” tanya Zaki, Ayah, dan Fajar bersamaan.
***

“Zaki, selamat, ya!” ucap Adi.
“Aku kemarin dengar lho di radio. Suara adzan kamu bagus juga,” puji Adi. Zaki tersipu malu.
Teman-teman dan tetangga Zaki kagum. Mereka tak mengira di lingkungan tempat tinggalnya ada muadzin cilik dengan suara yang indah.
Ozan dan teman-teman yang sebelumnya sempat mengejek Zaki hanya terdiam. Mereka malu pada Zaki.
Ini semua berkat Ibu. Ternyata di saat Zaki sedang berlatih adzan Ibu diam-diam merekamnya. Ibu tahu ada lomba adzan untuk anak di radio. Ibu mengirimkan rekaman adzan milik Zaki. Tak disangka suara adzan milik Zaki lolos. Alhasil, rekaman adzan Zaki diperdengarkan saat bedug maghrib selama bulan Ramdahan.
Zaki memang tak mendapatkan tropi seperti Fajar. Tapi, dia mendapat sarung dan baju koko. Ditambah lagi Ozan dan teman-temannya tak lagi berani mengejek Zaki soal volume suaranya yang kecil.
***
  
Semoga apa yang saya bagi bisa bermanfaat. Aamiin.. 
Perlu diperhatikan, naskah cernak ini adalah naskah sebelum direvisi editor. Jadi ya, ada beberapa kata yang tidak sesuai.

4 comments:

  1. Mantap, kak. Pesan moralnya bagus. Terus semangat, ya, kak, nulisnya...

    ReplyDelete
    Replies
    1. MasyaAllah, makasih, Kak. Bismillah semangat, InsyaAllah. :)

      Delete